Sabtu, 23 November 2019

ANTIKONVULSI


Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak. Secara pasti, apa yang terjadi selama kejang tergantung kepada bagian otak yang memiliki muatan listrik abnormal. Jika hanya melibatkan daerah yang sempit, maka penderita hanya merasakan bau atau rasa yang aneh. Jika melibatkan daerah yang luas, maka akan terjadi sentakan dan kejang otot di seluruh tubuh. Penderita juga bisa merasakan perubahan kesadaran, kehilangan kesadaran, kehilangan pengendalian otot atau kandung kemih dan menjadi linglung. (Kadzung,1997)
Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria, atau berbagai manifestasi epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan (Mardjono, 1988).
Kejang yang timbul sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi. Timbulnya parestesia yang mendadak, belum boleh dianggap sebagai manifetasi epileptic. Tetapi suatu manifestasi motorik dan sensorik ataupun sensomotorik ataupun yang timbulnya secara tiba-tiba dan berkala adalah epilepsi. (Mardjono, 1988)
Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu focus dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan neuron epileptic yang sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptic. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi. (Utama dan Gan, 2007)
Pada dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1.      Bangkitan umum primer (epilepsi umum)
·        Bangkitan tonik-konik (epilepsi grand mall)
·        Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)
·        Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences, bangkitan tonik, bangkitan klonik, bangkitan infantile
2.      Bangkitan pasrsial atau fokal atau lokal (epilepsy parsial atau fokal)
·        Bangkitan parsial sederhana
·        bangkitan parsial kompleks
·        Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
3.      Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II)
(Utama dan Gan, 2007)

Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena adanya cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron disekitarnya., kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal. Kemudian, cetusan korteks tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nukleus subkorteks. Timbul gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi. Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke focus korteks asalnya sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Setelah itu terjadi diensefalon. (Utama dan Gan, 2007)

Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi dua fase, yakni fase inisiasi dan fase propagasi. Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca++ dan Na+ serta hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau ion K+. Fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang mendepolarisasi neuron di sekitarnya), akumulasi Ca++ pada ujung akhir pre sinaps (meningkatkan pelepasan neurotransmitter), serta menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca++ sehingga tidak terjadi inhibisi oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsy umum/epilepsy sekunder. (Utama dan Gan, 2007).

Antikonvulsan adalah obat yang digunakan untuk mengembalikan kestabilan rangsangan sel saraf sehingga dapat mencegah atau mengatasi kejang. Selain mengatasi kejang, antikonvulsan juga digunakan untuk meredakan nyeri akibat gangguan saraf (neuropati) atau mengobati gangguan bipolar. Saraf-saraf dalam sel otak saling berkomunikasi melalui sinyal listrik, sehingga dapat memerintahkan tubuh untuk bergerak atau bertindak. Pada kondisi kejang, jumlah rangsangan sinyal listrik saraf melebihi batas normal. Perubahan rangsangan sinyal saraf tersebut dapat disebabkan oleh cedera pada otak, tumor otak, stroke, atau gangguan di luar otak, misalnya gangguan elektrolit. Obat antikonvulsan dapat menormalkan kembali rangsangan di sepanjang sel saraf, sehingga kejang dapat dicegah atau diatasi (Mardjono, 1988).



PENGGOLONGAN OBAT ANTIKONVULSAN


1.   Turunan  barbiturat

2.   Turunan  hidantoin.










3.   Turunan suksinimida




Tujuan terapi ini adalah untuk mencegah timbulnya seizure dengan memberikan dosis efektif satu atau lebih antiepileptik. Penyesuaian dosis perlu dilakukan secara hati-hati, dimulai dengan dosis kecil dan dosis ditingkatkan secara bertahap hingga serangan epilepsi dapat dikendalikan atau hingga muncul gejala efek samping yang nyata.
Frekuensi pemberian obat ditentukan oleh waktu paruh plasma, dan sebaiknya dipertahankan serendah mungkin untuk mendapatkan kepatuhan minum obat yang lebih baik. Biasanya antiepileptik diberikan dua kali sehari pada dosis lazim. Fenobarbital dan fenitoin adalah obat dengan waktu paruh yang panjang, sehingga diberikan sekali sehari menjelang tidur malam. Namun dengan dosis tinggi, beberapa antiepileptik dapat diberikan 3 kali sehari untuk menghindari efek samping berbahaya yang berhubungan dengan kadar plasma puncak yang tinggi. Pada anak-anak obat antiepilepsi dimetabolisme lebih cepat dibanding orang dewasa sehingga diperlukan dosis yang lebih besar per kilogram berat badan dan waktu pemakaian yang lebih sering. Bila terapi menggunakan monoterapi dengan obat-obat alternatif terbukti tidak efektif, mungkin dibutuhkan terapi menggunakan dua antiepileptik atau lebih. Terapi kombinasi meningkatkan toksisitas dan dapat timbul interaksi antar antiepileptik
 Interaksi yang terjadi antara antiepileptik bersifat kompleks dan toksisitas dapat meningkat tanpa peningkatan efek antiepileptik. Interaksi biasanya disebabkan oleh induksi atau penghambatan enzim hati. Pergeseran ikatan obat dengan protein plasma biasanya bukanlah suatu masalah. Interaksi yang terjadi dapat sangat beragam dan tidak dapat diperkirakan.


Contoh obat nya yaitu:
Indikasi: 
status epileptikus, konvulsi akibat keracunan.
Peringatan: 
penyakit pernapasan, kelemahan otot/miastenia gravis, riwayat ketergantungan obat, kelainan kepribadian yang jelas, hamil, menyusui. Hati-hati pada pemberian intravena.
Kontraindikasi: 
depresi pernapasan, insufisiensi pulmoner akut, status fobi/obsesi, psikosis kronik, porfiria.
Efek Samping: 
mengantuk, pandangan kabur, bingung, ataksia (terutama pada LANSIA), amnesia, ketergantungan. Kadang nyeri kepala, vertigo, hipotensi, gangguan salivasi & saluran cerna, ruam, perubahan libido, retensi urin.
Dosis: 
injeksi intravena. 10-20 mg, kecepatan 0,5 mL (2,5 mg) per 30 detik. Ulang bila perlu setelah 30-60 menit. Mungkin dilanjutkan dengan infus intravena sampai maksimal 3 mg/kg bb dalam 24 jam ANAK: 200-300 mcg/kg bb atau 1 mg/tahun umur. REKTAL: DEWASA/ANAK lebih dari 3 th: 10 mg; ANAK 13 th dan LANSIA: 5 mg ulang setelah 5 menit bila perlu.

DAFTAR PUSTAKA:
Mardjono, M. 1988. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat : Jakarta.
Katzung
, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta.
Utama H. & Gan. V . 2007. Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

Permasalahan :
1.   Apa alasan pemberian terapi pada obat antikonvulsan diberikan secara bertahap dari dosis rendah ke dosis tinggi?
2.   Obat antikonvulsan bekerja pada reseptor GABA, apa itu GABA dan bagaimana mekanisme nya?
3.   Apakah pemberian obat antikonvulsan bersamaan dengan obat lain dapat berpengaruh kepada efek kerja obat?




3 komentar:

  1. saya akan mencoba menjawab pertanyaan no 2.berdasarkan buku yang saya baca GABA (Gamma Amino Butiric Acid) merupakan neurotransmitter inhibitor, artinya akan menghalangi penghantaran impuls di serabut saraf. GABA disintesis pada ujung saraf presinaptik, dan disimpan di dalam vesikel sebelum dilepaskan. Sekali dilepaskan, GABA berdifusi menyebrangi celah sinap. Setelah GABA berdifusi, GABA akan menduduki tempatnya yaitu di GABA binding side, dimana GABA jenis ini terkait ion Cl– sehingga memperantai ion Cl– untuk masuk dan menyebabkan efek pada postsinaps. GABA yang sudah terdisosiasi dari reseptornya akan diambil kembali sehingga tertutupnya kanal Cl– GABA yang diambil untuk di re-uptake kembali ke dalam ujung presinaptik atau ke dalam sel gial dalam bentuk GABA dengan bantuan transportter GABA

    BalasHapus
  2. Haii Rima, informasi yang menarik, saya akan mencoba menjawab permasalahan no 1 :
    Pemberian dosis dari dosis rendah ke dosis tinggi bertujuan ajar obat antikonvulsi yang diberikan tidak langsung memberikan efek samping yang nyata pada tubuh dan efek samping yang langsung parah, selain itu tubuh juga harus beradaptasi dengan dosis obat yang diberikan, selain itu obat antikonvulsan biasanya memiliki waktu paruh yang panjang

    BalasHapus
  3. Hi rima, disini saya akan menjawab Permasalahan nomor 3: pemberian obat antikonvulsan dengan obat lain tergantung dari jenis obat yang di berikan, Pertimbangan medis dapat menentukan pemilihan obat maupun dosis obat yang akan digunakan. Dapat saja suatu jenis obat mempengaruhi mekanisme kerja obat lainnya seperti misalnya membuat obat jenis lainnya menjadi lebih efektif atau justru melemahkan efek kerja obat jenis lainnya tersebut. Oleh karena itu perlu sekali untuk memahami cara kerja obat dan dampaknya bagi tubuh

    BalasHapus