Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam
otak. Secara pasti, apa yang terjadi selama kejang tergantung kepada bagian
otak yang memiliki muatan listrik abnormal. Jika hanya melibatkan daerah yang
sempit, maka penderita hanya merasakan bau atau rasa yang aneh. Jika melibatkan
daerah yang luas, maka akan terjadi sentakan dan kejang otot di seluruh tubuh.
Penderita juga bisa merasakan perubahan kesadaran, kehilangan kesadaran,
kehilangan pengendalian otot atau kandung kemih dan menjadi linglung.
(Kadzung,1997)
Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar.
Konvulsi dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria,
atau berbagai manifestasi epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak
dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan
berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara
berlebihan (Mardjono, 1988).
Kejang
yang timbul sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi. Timbulnya parestesia
yang mendadak, belum boleh dianggap sebagai manifetasi epileptic. Tetapi suatu
manifestasi motorik dan sensorik ataupun sensomotorik ataupun yang timbulnya
secara tiba-tiba dan berkala adalah epilepsi. (Mardjono, 1988)
Bangkitan
epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik atau
depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu focus dalam otak yang
menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan neuron epileptic yang
sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptic. Neuron inilah yang menjadi
sumber bangkitan
epilepsi. (Utama dan Gan, 2007)
Pada
dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Bangkitan
umum primer (epilepsi umum)
· Bangkitan
tonik-konik (epilepsi grand mall)
· Bangkitan
lena (epilepsi petit mal atau absences)
· Bangkitan
lena yang tidak khas (atypical absences, bangkitan tonik, bangkitan klonik,
bangkitan infantile
2. Bangkitan
pasrsial atau fokal atau lokal (epilepsy parsial atau fokal)
· Bangkitan
parsial sederhana
· bangkitan
parsial kompleks
· Bangkitan
parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
3. Bangkitan
lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II)
(Utama
dan Gan, 2007)
Mekanisme
dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena adanya cetusan listrik di fokal
korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron
disekitarnya., kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal.
Kemudian, cetusan korteks tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui
jalur hemisfer dan jalur nukleus subkorteks. Timbul gejala klinis, tergantung
bagian otak yang tereksitasi. Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke
focus korteks asalnya sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi
penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal
dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Setelah itu
terjadi diensefalon. (Utama dan Gan, 2007)
Sedangkan
mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi dua fase, yakni fase
inisiasi dan fase propagasi. Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksi
frekuensi tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca++ dan Na+ serta
hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau ion K+. Fase
propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang mendepolarisasi neuron di
sekitarnya), akumulasi Ca++ pada ujung akhir pre sinaps (meningkatkan pelepasan
neurotransmitter), serta menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca++ sehingga tidak terjadi inhibisi
oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan penyebaran
dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsy umum/epilepsy
sekunder. (Utama dan Gan, 2007).
Antikonvulsan adalah obat yang digunakan untuk mengembalikan kestabilan
rangsangan sel saraf sehingga dapat mencegah atau mengatasi kejang. Selain
mengatasi kejang, antikonvulsan juga digunakan untuk meredakan nyeri akibat
gangguan saraf (neuropati) atau mengobati gangguan bipolar. Saraf-saraf dalam
sel otak saling berkomunikasi melalui sinyal listrik, sehingga dapat
memerintahkan tubuh untuk bergerak atau bertindak. Pada kondisi kejang, jumlah
rangsangan sinyal listrik saraf melebihi batas normal. Perubahan rangsangan
sinyal saraf tersebut dapat disebabkan oleh cedera pada otak, tumor otak,
stroke, atau gangguan di luar otak, misalnya gangguan elektrolit. Obat
antikonvulsan dapat menormalkan kembali rangsangan di sepanjang sel saraf,
sehingga kejang dapat dicegah atau diatasi (Mardjono, 1988).
PENGGOLONGAN OBAT ANTIKONVULSAN
1.
Turunan barbiturat
2.
Turunan hidantoin.
3.
Turunan suksinimida
Tujuan terapi ini adalah untuk mencegah timbulnya seizure dengan
memberikan dosis efektif satu atau lebih antiepileptik. Penyesuaian dosis perlu
dilakukan secara hati-hati, dimulai dengan dosis kecil dan dosis ditingkatkan
secara bertahap hingga serangan epilepsi dapat dikendalikan atau hingga muncul
gejala efek samping yang nyata.
Frekuensi pemberian obat ditentukan oleh waktu
paruh plasma, dan sebaiknya dipertahankan serendah mungkin untuk mendapatkan
kepatuhan minum obat yang lebih baik. Biasanya antiepileptik diberikan dua kali
sehari pada dosis lazim. Fenobarbital dan fenitoin adalah obat dengan
waktu paruh yang panjang, sehingga diberikan sekali sehari menjelang tidur
malam. Namun dengan dosis tinggi, beberapa antiepileptik dapat diberikan 3 kali
sehari untuk menghindari efek samping berbahaya yang berhubungan dengan kadar
plasma puncak yang tinggi. Pada anak-anak obat antiepilepsi dimetabolisme lebih
cepat dibanding orang dewasa sehingga diperlukan dosis yang lebih besar per
kilogram berat badan dan waktu pemakaian yang lebih sering. Bila terapi
menggunakan monoterapi dengan obat-obat alternatif terbukti tidak efektif,
mungkin dibutuhkan terapi menggunakan dua antiepileptik atau lebih. Terapi
kombinasi meningkatkan toksisitas dan dapat timbul interaksi antar antiepileptik
Interaksi
yang terjadi antara antiepileptik bersifat kompleks dan toksisitas dapat
meningkat tanpa peningkatan efek antiepileptik. Interaksi biasanya disebabkan
oleh induksi atau penghambatan enzim hati. Pergeseran ikatan obat dengan
protein plasma biasanya bukanlah suatu masalah. Interaksi yang terjadi dapat
sangat beragam dan tidak dapat diperkirakan.
Contoh
obat nya yaitu:
Indikasi:
status epileptikus, konvulsi akibat keracunan.
Peringatan:
penyakit pernapasan, kelemahan otot/miastenia gravis,
riwayat ketergantungan obat, kelainan kepribadian yang jelas, hamil, menyusui.
Hati-hati pada pemberian intravena.
Kontraindikasi:
depresi pernapasan, insufisiensi pulmoner akut, status
fobi/obsesi, psikosis kronik, porfiria.
Efek Samping:
mengantuk, pandangan kabur, bingung, ataksia (terutama
pada LANSIA), amnesia, ketergantungan. Kadang nyeri kepala, vertigo, hipotensi,
gangguan salivasi & saluran cerna, ruam, perubahan libido, retensi urin.
Dosis:
injeksi intravena. 10-20 mg, kecepatan 0,5 mL (2,5 mg)
per 30 detik. Ulang bila perlu setelah 30-60 menit. Mungkin dilanjutkan dengan
infus intravena sampai maksimal 3 mg/kg bb dalam 24 jam ANAK: 200-300 mcg/kg bb
atau 1 mg/tahun umur. REKTAL: DEWASA/ANAK lebih dari 3 th: 10 mg; ANAK 13 th
dan LANSIA: 5 mg ulang setelah 5 menit bila perlu.
DAFTAR PUSTAKA:
Mardjono, M. 1988. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat : Jakarta.
Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta.
Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta.
Utama H. & Gan. V
. 2007. Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Permasalahan :
1.
Apa alasan pemberian terapi pada obat antikonvulsan diberikan
secara bertahap dari dosis rendah ke dosis tinggi?
2.
Obat
antikonvulsan bekerja pada reseptor GABA, apa itu GABA dan bagaimana mekanisme
nya?
3.
Apakah
pemberian obat antikonvulsan bersamaan dengan obat lain dapat berpengaruh
kepada efek kerja obat?
saya akan mencoba menjawab pertanyaan no 2.berdasarkan buku yang saya baca GABA (Gamma Amino Butiric Acid) merupakan neurotransmitter inhibitor, artinya akan menghalangi penghantaran impuls di serabut saraf. GABA disintesis pada ujung saraf presinaptik, dan disimpan di dalam vesikel sebelum dilepaskan. Sekali dilepaskan, GABA berdifusi menyebrangi celah sinap. Setelah GABA berdifusi, GABA akan menduduki tempatnya yaitu di GABA binding side, dimana GABA jenis ini terkait ion Cl– sehingga memperantai ion Cl– untuk masuk dan menyebabkan efek pada postsinaps. GABA yang sudah terdisosiasi dari reseptornya akan diambil kembali sehingga tertutupnya kanal Cl– GABA yang diambil untuk di re-uptake kembali ke dalam ujung presinaptik atau ke dalam sel gial dalam bentuk GABA dengan bantuan transportter GABA
BalasHapusHaii Rima, informasi yang menarik, saya akan mencoba menjawab permasalahan no 1 :
BalasHapusPemberian dosis dari dosis rendah ke dosis tinggi bertujuan ajar obat antikonvulsi yang diberikan tidak langsung memberikan efek samping yang nyata pada tubuh dan efek samping yang langsung parah, selain itu tubuh juga harus beradaptasi dengan dosis obat yang diberikan, selain itu obat antikonvulsan biasanya memiliki waktu paruh yang panjang
Hi rima, disini saya akan menjawab Permasalahan nomor 3: pemberian obat antikonvulsan dengan obat lain tergantung dari jenis obat yang di berikan, Pertimbangan medis dapat menentukan pemilihan obat maupun dosis obat yang akan digunakan. Dapat saja suatu jenis obat mempengaruhi mekanisme kerja obat lainnya seperti misalnya membuat obat jenis lainnya menjadi lebih efektif atau justru melemahkan efek kerja obat jenis lainnya tersebut. Oleh karena itu perlu sekali untuk memahami cara kerja obat dan dampaknya bagi tubuh
BalasHapus